Menurut Abraham Maslow dalam teori
hierarki kebutuhan manusia, ada lima kebutuhan dasar manusia, yaitu fisiologis
(rasa lapar, haus, seksual dan kebutuhan fisik lainnya), rasa aman (rasa ingin
dilindungi dari bahaya fisik dan emosional), sosial (rasa kasih sayang,
kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan), penghargaan (faktor penghargaan
internal dan eksternal), dan aktualisasi diri (pertumbuhan, pencapaian potensi
seseorang, dan pemenuhan diri sendiri). Ketika salah satu dari kebutuhan itu
terganggu bisa dipastikan manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Contoh
konkretnya, manusia akan mengalami kelaparan jika tak ada makanan, kehausan
jika tidak ada air, atau perlu penanganan medis jika dia seminggu tidak bisa
buang air. Seseorang juga akan dikucilkan oleh masyarakat jika dia tak mampu
bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya atau bersikap
mengganggu keamanan masyarakat.
Pada dasarnya tawuran dan perkelahian yang terjadi
antar warga banyak disebabkan karena tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan
dasar manusia, yaitu penghargaan. Penghargaan di sini artinya adalah
penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Seseorang yang merasa harga
dirinya terancam bisa dipastikan akan mengalami penolakan yang wujudnya bisa
bermacam-macam tergantung usia, kedewasaan, cara berpikir, dan pengetahuannya.
Masalah-masalah sepele yang menurut kita terlalu
kecil untuk bisa dijadikan alasan tawuran mungkin bagi mereka adalah
sebaliknya, karena masalah itu mengganggu harga dirinya juga harga diri
kelompoknya. Kebutuhan akan aktualisasi diri juga begitu menggebu-gebu. Karena merasa
harga dirinya direndahkan mereka yang bersitegang ingin menunjukkan bahwa
mereka tak bisa diremehkan. Caranya, mungkin bagi sebagian orang dewasa akan
mengambil langkah-langkah damai terlebih dahulu, namun pada remaja biasanya
mereka langsung unjuk kebolehan dan keberanian di jalan raya dengan membawa batu,
rotan, bahkan senjata tajam. Para remaja itu memang sedang dalam proses mencari
jati diri. Perasaan ingin dihargai dan diakui sangat kuat melekat dalam diri
mereka.
Sebenarnya tak ada yang salah dalam kasus tawuran
itu. Hanya saja mereka kurang sabar dalam bersikap. Ketika jalan damai buntu
(bahkan dalam kasus tawuran remaja tanpa melalui proses damai. Itu tadi masalah
harga diri. Rasanya gengsi meminta maaf atau memaafkan) biasanya seseorang akan
mengambil jalan kekerasan. Jika ada pihak-pihak yang juga merasa terinjak-injak
harga dirinya, emosi langsung meluap, dan akhirnya tawuran atau perkelahian pun
tak dapat dihindarkan. Saya yakin seyakin-yakinnya, mereka yang terlibat
tawuran pasti tahu resikonya.
Maraknya pemberitaan di berbagai media tentang
tawuran yang tak hanya melibatkan warga yang notabene adalah orang dewasa,
namun juga menimpa para remaja, tak urung membuat hati kita nelangsa. Mau jadi
apa negeri kita jika para remaja dan warganya diliputi oleh kebencian? Padahal,
di pundak para remajalah negara ini bertumpu. Pernah ada satu uangkapan yang
cukup menyentakkan nurani saya sebagai ibu calon generasi penerus bangsa.
Ungkapan itu berbunyi, jika ingin menghancurkan suatu negeri maka hancurkan
dulu para remajanya. Mengerikan, bukan? Begitu pula dengan para warga. Sebagai
orang dewasa biasanya mereka menjadi role
model bagi generasi yang lebih muda. Banyak cara yang lebih terhormat untuk
menyampaikan harga diri yang terluka tanpa harus bersitegang hingga seluruh
dunia tahu sepak terjang aksi anarkisnya.
Bukankah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh?
Ada beberapa hal yang patut diketahui untuk mencegah
terjadinya aksi anarkis yang merugikan banyak pihak itu, antara lain:
1 1. Pendidikan
agama
Seseorang
dengan dasar agama yang kuat biasanya enggan melakukan hal-hal yang akan menyakiti
orang lain, bagaimanapun bentuknya. Dalam dirinya telah tertanam sikap
menghormati dan husnudzan (berprasangka baik). Masalah yang ada akan
dihadapinya dengan berpegang teguh pada agamanya. Nilai-nilai yang diajarkan telah
menjadi pondasinya dalam menangani permasalahan. Maka sudah menjadi kewajiban
para orang tua untuk membekali anak-anaknya dengan ilmu agama yang kuat agar
kelak mereka mampu mengambil sikap dalam setiap persoalan. Pun hal itu tidak
hanya berlaku bagi anak-anak dan remaja, para orang dewasa juga hendaknya terus
memenuhi hatinya dengan ilmu agama. Karena agama juga mengajarkan bagaimana
mengendalikan diri dan cara mengaktualisasikan diri.
2 2. Kasih
sayang dari keluarga
Semenjak
seorang anak dilahirkan, dia bergantung penuh pada keluarganya. Terutama orang
tuanya. Seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis,
penuh kasih sayang, peduli, dan penuh perhatian tentu akan tertanam dalam
jiwanya bagaimana menghormati orang lain. Kata orang, anak-anak yang
disekolahkan pada sekolah khusus keagamaan merupakan anak-anak “nakal” walaupun
tak semuanya seperti itu. Menurut saya tak ada anak “nakal”, mungkin dia korban
salah asuhan. Menurut hemat saya juga, rasanya percuma menyekolahkan anak di
sekolah berbasis agama jika di rumah dia melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa
dahsyatnya ketika orang tuanya bertengkar, pilih kasih, dan cuek pada dirinya.
Bukankah keluarga –terutama ibu- merupakan madrasah pertama bagi anak-anak?
3 3. Lingkungan
sekitar
Setelah
pendidikan agama sudah dimiliki dengan baik plus keluarga harmonis terwujud,
wajib kita telusuri bagaimana lingkungan sekitar anak-anak kita. Ya, bukankah
manusia juga butuh bersosialisasi? Begitu juga anak-anak. Salah bergaul atau
salah memilih teman sedikit saja dampaknya akan sangat terasa. Adik saya bahkan
pernah menjadi korban pengeroyokan hanya karena dia adalah teman dari kawannya
yang bermasalah dengan kelompok anak yang mengeroyoknya tadi. Sebenarnya tak
ada yang salah dengan teman adik saya itu, masalahnya teman adik saya itu sudah
dianggap merebut pacar salah seorang pengeroyok itu. Hampir terjadi tawuran
jika tak ada polisi yang kebetulan melintas. Nyatanya, pada kehidupan orang
dewasa pun tak jauh beda. Jika seseorang salah memilih kawan atau terjebak
dalam suatu kelompok negatif bisa dipastikan bagaimana rusak akhlaknya.
4 4. Kegiatan
Positif
Sudah
tenar di kalangan para orang tua yang memiliki anak usia sekolah, bahwa hampir
setiap sekolah pasti memiliki program ekstra kurikuler (ekskul). Program itu
dimaksudkan untuk pengembangan bakat dan minat peserta didiknya. Motivasi dari
orang tua agar para remajanya terlibat aktif dalam program ekskul sangat
diperlukan. Penanaman jiwa legowo
ketika kalah bertanding antar sekolah dan juga tidak jumawa saat menang
merupakan hal yang pokok dipelajari dalam setiap ekskul, karena tak jarang
tawuran justru terjadi karena pertandingan ekskul antar sekolah. Adik saya
pernah bercerita bahwa tim sepak bola sekolahnya menjadi bulan-bulanan tim
sekolah lain hanya karena tim sekolah adik saya menang. Saya pun merawat salah
seorang tim sepak bola sekolah adik saya yang mendapat perawatan intensif di
rumah sakit, karena mengalami luka serius akibat pengeroyokan itu. Jika sedari
remaja saja sudah berkelahi karena kalah bertanding, tak heran jika kita
melihat banyak tindakan anarkis yang dilakukan oleh supporter tim yang kalah
dalam sebuah pertandingan. Kegiatan
positif lainnya seperti berkemah, naik gunung, bersepeda, atau melakukan hobi
yang menarik juga bisa menjadi alternatif bagi pelajar dan orang dewasa agar
terhindar dari tawuran.
Itulah pendapat saya dalam menangani masalah tawuran
yang nampaknya sedang “in” di negara kita. Sosialisasi tentang bahaya tawuran
juga diperlukan agar bisa menjadi salah satu jalan pengetahuan para orang tua
dan orang dewasa.
Artikel ini diikutsertakan pada
Kontes Unggulan Indonesia Bersatu: Cara Mencegah Dan Menanggulangi Tawuran.
Terima kasih atas partisipasi
BalasHapussahabat. Salam hangat dari Surabaya