Kamis, 11 Oktober 2012

Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran


Menurut Abraham Maslow dalam teori hierarki kebutuhan manusia, ada lima kebutuhan dasar manusia, yaitu fisiologis (rasa lapar, haus, seksual dan kebutuhan fisik lainnya), rasa aman (rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional), sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan), penghargaan (faktor penghargaan internal dan eksternal), dan aktualisasi diri (pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri). Ketika salah satu dari kebutuhan itu terganggu bisa dipastikan manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Contoh konkretnya, manusia akan mengalami kelaparan jika tak ada makanan, kehausan jika tidak ada air, atau perlu penanganan medis jika dia seminggu tidak bisa buang air. Seseorang juga akan dikucilkan oleh masyarakat jika dia tak mampu bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya atau bersikap mengganggu keamanan masyarakat.

Pada dasarnya tawuran dan perkelahian yang terjadi antar warga banyak disebabkan karena tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar manusia, yaitu penghargaan. Penghargaan di sini artinya adalah penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Seseorang yang merasa harga dirinya terancam bisa dipastikan akan mengalami penolakan yang wujudnya bisa bermacam-macam tergantung usia, kedewasaan, cara berpikir, dan pengetahuannya. 

Masalah-masalah sepele yang menurut kita terlalu kecil untuk bisa dijadikan alasan tawuran mungkin bagi mereka adalah sebaliknya, karena masalah itu mengganggu harga dirinya juga harga diri kelompoknya. Kebutuhan akan aktualisasi diri juga begitu menggebu-gebu. Karena merasa harga dirinya direndahkan mereka yang bersitegang ingin menunjukkan bahwa mereka tak bisa diremehkan. Caranya, mungkin bagi sebagian orang dewasa akan mengambil langkah-langkah damai terlebih dahulu, namun pada remaja biasanya mereka langsung unjuk kebolehan dan keberanian di jalan raya dengan membawa batu, rotan, bahkan senjata tajam. Para remaja itu memang sedang dalam proses mencari jati diri. Perasaan ingin dihargai dan diakui sangat kuat melekat dalam diri mereka. 

Sebenarnya tak ada yang salah dalam kasus tawuran itu. Hanya saja mereka kurang sabar dalam bersikap. Ketika jalan damai buntu (bahkan dalam kasus tawuran remaja tanpa melalui proses damai. Itu tadi masalah harga diri. Rasanya gengsi meminta maaf atau memaafkan) biasanya seseorang akan mengambil jalan kekerasan. Jika ada pihak-pihak yang juga merasa terinjak-injak harga dirinya, emosi langsung meluap, dan akhirnya tawuran atau perkelahian pun tak dapat dihindarkan. Saya yakin seyakin-yakinnya, mereka yang terlibat tawuran pasti tahu resikonya. 

Maraknya pemberitaan di berbagai media tentang tawuran yang tak hanya melibatkan warga yang notabene adalah orang dewasa, namun juga menimpa para remaja, tak urung membuat hati kita nelangsa. Mau jadi apa negeri kita jika para remaja dan warganya diliputi oleh kebencian? Padahal, di pundak para remajalah negara ini bertumpu. Pernah ada satu uangkapan yang cukup menyentakkan nurani saya sebagai ibu calon generasi penerus bangsa. Ungkapan itu berbunyi, jika ingin menghancurkan suatu negeri maka hancurkan dulu para remajanya. Mengerikan, bukan? Begitu pula dengan para warga. Sebagai orang dewasa biasanya mereka menjadi role model bagi generasi yang lebih muda. Banyak cara yang lebih terhormat untuk menyampaikan harga diri yang terluka tanpa harus bersitegang hingga seluruh dunia tahu sepak terjang aksi anarkisnya. 

Bukankah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh?

Ada beberapa hal yang patut diketahui untuk mencegah terjadinya aksi anarkis yang merugikan banyak pihak itu, antara lain: 

1    1.      Pendidikan agama
Seseorang dengan dasar agama yang kuat biasanya enggan melakukan hal-hal yang akan menyakiti orang lain, bagaimanapun bentuknya. Dalam dirinya telah tertanam sikap menghormati dan husnudzan (berprasangka baik). Masalah yang ada akan dihadapinya dengan berpegang teguh pada agamanya. Nilai-nilai yang diajarkan telah menjadi pondasinya dalam menangani permasalahan. Maka sudah menjadi kewajiban para orang tua untuk membekali anak-anaknya dengan ilmu agama yang kuat agar kelak mereka mampu mengambil sikap dalam setiap persoalan. Pun hal itu tidak hanya berlaku bagi anak-anak dan remaja, para orang dewasa juga hendaknya terus memenuhi hatinya dengan ilmu agama. Karena agama juga mengajarkan bagaimana mengendalikan diri dan cara mengaktualisasikan diri.

2    2.     Kasih sayang dari keluarga
Semenjak seorang anak dilahirkan, dia bergantung penuh pada keluarganya. Terutama orang tuanya. Seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang, peduli, dan penuh perhatian tentu akan tertanam dalam jiwanya bagaimana menghormati orang lain. Kata orang, anak-anak yang disekolahkan pada sekolah khusus keagamaan merupakan anak-anak “nakal” walaupun tak semuanya seperti itu. Menurut saya tak ada anak “nakal”, mungkin dia korban salah asuhan. Menurut hemat saya juga, rasanya percuma menyekolahkan anak di sekolah berbasis agama jika di rumah dia melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa dahsyatnya ketika orang tuanya bertengkar, pilih kasih, dan cuek pada dirinya. Bukankah keluarga –terutama ibu- merupakan madrasah pertama bagi anak-anak?

3    3.     Lingkungan sekitar
Setelah pendidikan agama sudah dimiliki dengan baik plus keluarga harmonis terwujud, wajib kita telusuri bagaimana lingkungan sekitar anak-anak kita. Ya, bukankah manusia juga butuh bersosialisasi? Begitu juga anak-anak. Salah bergaul atau salah memilih teman sedikit saja dampaknya akan sangat terasa. Adik saya bahkan pernah menjadi korban pengeroyokan hanya karena dia adalah teman dari kawannya yang bermasalah dengan kelompok anak yang mengeroyoknya tadi. Sebenarnya tak ada yang salah dengan teman adik saya itu, masalahnya teman adik saya itu sudah dianggap merebut pacar salah seorang pengeroyok itu. Hampir terjadi tawuran jika tak ada polisi yang kebetulan melintas. Nyatanya, pada kehidupan orang dewasa pun tak jauh beda. Jika seseorang salah memilih kawan atau terjebak dalam suatu kelompok negatif bisa dipastikan bagaimana rusak akhlaknya. 

4    4.     Kegiatan Positif
Sudah tenar di kalangan para orang tua yang memiliki anak usia sekolah, bahwa hampir setiap sekolah pasti memiliki program ekstra kurikuler (ekskul). Program itu dimaksudkan untuk pengembangan bakat dan minat peserta didiknya. Motivasi dari orang tua agar para remajanya terlibat aktif dalam program ekskul sangat diperlukan. Penanaman jiwa legowo ketika kalah bertanding antar sekolah dan juga tidak jumawa saat menang merupakan hal yang pokok dipelajari dalam setiap ekskul, karena tak jarang tawuran justru terjadi karena pertandingan ekskul antar sekolah. Adik saya pernah bercerita bahwa tim sepak bola sekolahnya menjadi bulan-bulanan tim sekolah lain hanya karena tim sekolah adik saya menang. Saya pun merawat salah seorang tim sepak bola sekolah adik saya yang mendapat perawatan intensif di rumah sakit, karena mengalami luka serius akibat pengeroyokan itu. Jika sedari remaja saja sudah berkelahi karena kalah bertanding, tak heran jika kita melihat banyak tindakan anarkis yang dilakukan oleh supporter tim yang kalah dalam sebuah pertandingan.  Kegiatan positif lainnya seperti berkemah, naik gunung, bersepeda, atau melakukan hobi yang menarik juga bisa menjadi alternatif bagi pelajar dan orang dewasa agar terhindar dari tawuran. 

 Itulah pendapat saya dalam menangani masalah tawuran yang nampaknya sedang “in” di negara kita. Sosialisasi tentang bahaya tawuran juga diperlukan agar bisa menjadi salah satu jalan pengetahuan para orang tua dan orang dewasa. 

Adalah tugas kita semua memerangi segala bentuk tindakan kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Semoga bermanfaat.


Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Indonesia Bersatu: Cara Mencegah Dan Menanggulangi Tawuran.





1 komentar:

  1. Terima kasih atas partisipasi
    sahabat. Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus