Menjadi guru merupakan profesi yang luar biasa. Mengapa?
Karena pasti dia dituntut untuk sabar. Setidaknya itulah modal untuk mengambil
hati anak didiknya. Selain itu, pintar. Sepertinya kata itu selalu melekat pada
sosok guru. Sebuah cambukan yang seharusnya membuat para guru semakin giat
belajar agar kualitas didikannya semakin meningkat.
Guru ibarat orang tua kedua bagi peserta didiknya. Orang
yang sudah seharusnya menjaga dan menyayangi sebagaimana orang tua mereka di
rumah. Memberi perhatian, mengajarkan sopan santun, budi pekerti yang baik,
sekaligus mengajarkan berbagai disiplin ilmu yang berguna bagi masa depannya
kelak. Semua sikap guru selalu menjadi panutan. Role model yang sempurna. Segala pencitraan pada dirinya akan
dikenang oleh semua anak didiknya. Sungguh, kebanyakan para guru lupa akan
murid-muridnya, namun seorang murid tak dapat begitu saja melupakan gurunya.
Apalagi jika beliau adalah guru yang killer,
suka memberi ulangan dadakan, atau karena beliau orang yang sabar, cara
mengajarnya nyaman, humoris, dan sebagainya.
Perannya yang demikian besar terhadap upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa membuat guru umumnya bukan saja dihormati di kalangan anak
didiknya, namun juga di lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu sikap dan
pribadi guru selalu menjadi sorotan, kata-katanya pun lebih banyak didengar.
Jika demikian sempurnanya sosok seorang guru, bagaimana
dengan guru yang suka memukul muridnya bahkan melakukan tindakan asusila pada
anak didiknya? Tentu ini menjadi wacana serius yang layak mendapat perhatian
khusus. Sebagaimana orang tuanya di rumah, para
guru juga berkewajiban mengingatkan anak didiknya jika mereka salah.
Namun, haruskah dengan cara kekerasan yang justru membuat anak didiknya trauma
pada sekolah? Peserta didik, meski dia berstatus mahasiswa sekalipun, memiliki
daya ingat yang baik tentang gurunya. Guru seharusnya menyadari hal itu. Tak
selayaknya seorang guru yang disegani melakukan tindakan yang menyakiti anak
didiknya baik fisik maupun psikis. Tidakkah pernah terpikir bahwa tindakannya
itu akan ditiru oleh anak didiknya?
Meski saya bukan guru, hati saya miris juga mendengar
pemberitaan media tentang maraknya kekerasan yang dilakukan oleh para guru,
bahkan ada juga tindakan guru yang dengan tega menghancurkan masa depan anak
didiknya. Tak dapat dipungkiri, hati saya gelisah juga. Ya, saya mempunyai anak
yang insya Allah akan saya sekolahkan juga. Bagaimana jika anak saya mendapat
perlakuan serupa? Kata ibu saya, dulu waktu saya berstatus pelajar, hampir
tidak pernah terdengar bermacam-macam kekerasan seperti sekarang ini. Pikir
saya, apakah ini metode mengajar yang baru atau bagaimana? Sekali lagi, ini
pekerjaan besar bagi organisasi profesi guru untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat kepada guru.
Ibu Muslimah, guru dalam novel Laskar Pelangi pernah menjadi
icon dalam wajah pendidik di Indonesia. Sosoknya sanggup membuktikan bahwa guru
memang tak pernah layak disebut sebagai mantan guru oleh anak didiknya. Apakah
pantas seorang murid mengatakan, “Beliau mantan guruku waktu di SD dulu.” Akan
lebih enak didengar, jika murid itu mengatakan, “Beliau adalah guruku saat aku di SD dulu.” Posisinya sejajar dengan ibu
atau ayah, yang hingga detik ini tak pernah terdengar istilah mantan ayah atau
mantan ibu. Sebuah penghormatan yang sesuai dengan profesi mulianya. Namun,
citra buruk guru akhir-akhir ini seolah menghapus segala rasa segan pada sosok
guru. Guru lebih dinilai sebagai sosok yang beringas, keras, suka menggoda, dan
sederet penilaian negatif lainnya. Ini merupakan tamparan yang menyakitkan. Bukan hanya bagi organisasi
profesi tapi juga bagi masyarakat luas yang sejak awal menaruh harapan di
pundak mereka.
Saya berharap, sesegera mungkin guru mampu memulihkan
konsistensinya sebagai penyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa, yang bukan
hanya semata sebagai pendidik, tapi juga sebagai orang tua kedua bagi semua
peserta didiknya.