Minggu, 04 November 2012

Sebuah Penghormatan Untuk Guru, Tak Ada Istilah ‘Mantan Guru’ Bagi Peserta Didik


Menjadi guru merupakan profesi yang luar biasa. Mengapa? Karena pasti dia dituntut untuk sabar. Setidaknya itulah modal untuk mengambil hati anak didiknya. Selain itu, pintar. Sepertinya kata itu selalu melekat pada sosok guru. Sebuah cambukan yang seharusnya membuat para guru semakin giat belajar agar kualitas didikannya semakin meningkat.

Guru ibarat orang tua kedua bagi peserta didiknya. Orang yang sudah seharusnya menjaga dan menyayangi sebagaimana orang tua mereka di rumah. Memberi perhatian, mengajarkan sopan santun, budi pekerti yang baik, sekaligus mengajarkan berbagai disiplin ilmu yang berguna bagi masa depannya kelak. Semua sikap guru selalu menjadi panutan. Role model yang sempurna. Segala pencitraan pada dirinya akan dikenang oleh semua anak didiknya. Sungguh, kebanyakan para guru lupa akan murid-muridnya, namun seorang murid tak dapat begitu saja melupakan gurunya. Apalagi jika beliau adalah guru yang killer, suka memberi ulangan dadakan, atau karena beliau orang yang sabar, cara mengajarnya nyaman, humoris, dan sebagainya.

Perannya yang demikian besar terhadap upaya mencerdaskan kehidupan bangsa membuat guru umumnya bukan saja dihormati di kalangan anak didiknya, namun juga di lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu sikap dan pribadi guru selalu menjadi sorotan, kata-katanya pun lebih banyak didengar.

Jika demikian sempurnanya sosok seorang guru, bagaimana dengan guru yang suka memukul muridnya bahkan melakukan tindakan asusila pada anak didiknya? Tentu ini menjadi wacana serius yang layak mendapat perhatian khusus. Sebagaimana orang tuanya di rumah, para  guru juga berkewajiban mengingatkan anak didiknya jika mereka salah. Namun, haruskah dengan cara kekerasan yang justru membuat anak didiknya trauma pada sekolah? Peserta didik, meski dia berstatus mahasiswa sekalipun, memiliki daya ingat yang baik tentang gurunya. Guru seharusnya menyadari hal itu. Tak selayaknya seorang guru yang disegani melakukan tindakan yang menyakiti anak didiknya baik fisik maupun psikis. Tidakkah pernah terpikir bahwa tindakannya itu akan ditiru oleh anak didiknya?

Meski saya bukan guru, hati saya miris juga mendengar pemberitaan media tentang maraknya kekerasan yang dilakukan oleh para guru, bahkan ada juga tindakan guru yang dengan tega menghancurkan masa depan anak didiknya. Tak dapat dipungkiri, hati saya gelisah juga. Ya, saya mempunyai anak yang insya Allah akan saya sekolahkan juga. Bagaimana jika anak saya mendapat perlakuan serupa? Kata ibu saya, dulu waktu saya berstatus pelajar, hampir tidak pernah terdengar bermacam-macam kekerasan seperti sekarang ini. Pikir saya, apakah ini metode mengajar yang baru atau bagaimana? Sekali lagi, ini pekerjaan besar bagi organisasi profesi guru untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada guru.

Ibu Muslimah, guru dalam novel Laskar Pelangi pernah menjadi icon dalam wajah pendidik di Indonesia. Sosoknya sanggup membuktikan bahwa guru memang tak pernah layak disebut sebagai mantan guru oleh anak didiknya. Apakah pantas seorang murid mengatakan, “Beliau mantan guruku waktu di SD dulu.” Akan lebih enak didengar, jika murid itu mengatakan, “Beliau adalah guruku saat  aku di SD dulu.” Posisinya sejajar dengan ibu atau ayah, yang hingga detik ini tak pernah terdengar istilah mantan ayah atau mantan ibu. Sebuah penghormatan yang sesuai dengan profesi mulianya. Namun, citra buruk guru akhir-akhir ini seolah menghapus segala rasa segan pada sosok guru. Guru lebih dinilai sebagai sosok yang beringas, keras, suka menggoda, dan sederet penilaian negatif lainnya. Ini merupakan tamparan yang  menyakitkan. Bukan hanya bagi organisasi profesi tapi juga bagi masyarakat luas yang sejak awal menaruh harapan di pundak mereka.

Saya berharap, sesegera mungkin guru mampu memulihkan konsistensinya sebagai penyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa, yang bukan hanya semata sebagai pendidik, tapi juga sebagai orang tua kedua bagi semua peserta didiknya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar