Imai,
Sang Detektif …
Oleh
: Ariany Primastutiek
Setengah berlari Imai menuju kelasnya. Tampak
hembusan nafasnya begitu terpacu. Ngos-ngosan. Nafasnya nyaris tersengal. Waktu
telah menunjukkan pukul 06.57 wib. Hampir saja ia terlambat. Tiga menit lagi
jam pertama mata pelajaran Biologi segera dimulai. Sesampai di kelas, Imai
tampak disambut oleh keriuhan yang tak seperti biasanya saja. Beberapa siswa
tampak terkulai lemas, sebagian yang lain nampak galau campur cemas, beberapa
yang lain pula tampak duduk-duduk malas, dan sebagaian yang lain bahkan tampak
mondar-mandir nggak jelas. Imai langsung duduk di sebelah Lila yang tengah
asyik mematut-matut dirinya di depan cermin bedak miliknya, seolah cuek bebek
dalam suasana gaduh seperti itu. Sementara teman-teman yang lain tampak gaduh
meributkan sesuatu.
“Ini ada apaan sih? Kok rame banget, kayak pasar
pagi?” tanya Imai sambil mengalungkan tasnya di sandaran kursi.
“Eh, sejak kapan kamu ada di sini?” Lila terlonjak
dari kursinya. Dia kaget setengah mati. Hampir saja cermin bedak yang
dipegangnya jatuh.
“Hemm… makanya jangan ngaca mulu. Mau ulangan
dadakan ya, Lil?”
“Nggak! Mau ada tes urine.” Jawab Lila masih dengan
mimik cuek. Matanya tak juga lepas dari cermin bedaknya.
“Ada yang hamil apa?” Tanya Imai setengah berbisik
dengan muka bloon.
“Meneketehe, katanya sih mau buat tes narkoba.”
“Oh, lha terus kamu kok tenang-tenang gitu?”
“Ngapain mesti panik? Aku bukan pemakai, aku juga
bukan pengguna, apalagi sebagai pengedar…,” Jawab Lila santai-santai saja tanpa
beban.
Imai tersenyum mendengar jawaban sahabatnya yang
princes ini. Dalam hati dia membenarkan perkataan Lila. Tak lama kemudian Bu
Lestari, wali kelas Imai, datang. Seharusnya jam pertama diisi oleh Pak
Hamdani, guru Biologi. Bu Lestari datang dengan beberapa orang dari kepolisian.
Setelah mendapatkan penjelasan, satu per satu Imai dan teman-temannya digiring
ke kamar mandi untuk diambil sampel urinenya ditemani seorang polisi. Katanya
untuk memastikan tak ada seorangpun yang mencampur air kencingnya dengan air
biasa. Sementara itu beberapa polisi lain mengecek semua tas di kelas.
Ba’da dhuhur, hasil tes urine keluar. Semua warga
sekolah kaget ketika pihak kepolisian mengumumkan bahwa mereka terpaksa menahan
Nino karena tes urinenya positif dan di tasnya ditemukan beberapa bungkus pil
ekstasi. Imai melongo tak percaya. Sementara itu Nino bersikeras bahwa hal itu
tak mungkin, dan semua barang haram itu bukan miliknya.
Nino memang preman di sekolah Imai. Tapi Imai yakin
Nino tak mungkin jadi pemakai narkoba. Soalnya Nino itu kan pelanggan UKS yang tak
bisa minum obat. Mana mau dia minum obat segede kacang kulit itu. Jadi, pasti
ada yang sengaja menjebaknya atau menjadikannya kambing hitam. Imai penasaran
tingkat kronis.
Esoknya, Imai langsung menemui orang tua Nino. Ayah
Nino bilang, beliau kemarin memecat Satmoko, satpam rumahnya yang ternyata seorang
pencuri. Hal itu beliau ketahui dari kamera CCTV yang dipasang di setiap sudut
rumahnya. Bisa jadi Satmoko ingin balas dendam. Setelah mendapatkan informasi
berharga itu, Imai kembali ke sekolahnya. Tak sengaja Imai mendengar percakapan
orang-orang yang tak asing di kebun sekolahnya. Imai langsung bersembunyi di
balik pohon. Imai terseyum puas. Kini dia tahu siapa pelakunya.
“Imai…!! Catur mau bunuh diri…!” teriak Bu Lestari.
Imai langsung menuju gudang sekolah. Dia sengaja meminta pihak guru untuk
mengurung Catur jika dia bungkam. Beberapa guru memegangi Catur yang
meronta-ronta. Imai menatap Catur dengan garang. Sementara itu darah terus
menetes dari pergelangan tangannya. Nampaknya Catur sengaja menyileti tangannya
sendiri. Catur bukan mau bunuh diri. Dia sakaw. Dia ingin menghisap darahnya
sendiri. Bagai lampu pijar yang menyala, mendadak muncul ide di kepala Imai.
Dia mengancam akan membuang pil ekstasi milik Catur jika dia tak mau mengatakan
hal yang sebenarnya. Karena merasakan sakit yang amat sangat, terpaksa Catur
mengakui semuanya.
“Itu… memang
punyaku. Ini semua akal-akalan Pak Hamdani. Adiknya dipenjara karena dipecat
oleh ayahnya Nino. Mereka mau balas dendam…” napas Catur memburu. “Teruuss…” Imai melotot tak sabar.
“Kemarin ada pemeriksaan, Pak Hamdani tahu aku pakai
narkoba. Dia mengancam akan melaporkanku kecuali kalau aku mau membantunya.
Terpaksa aku menurutinya. Aku dimintanya menaruh pil itu ke dalam tas Nino, sedangkan
dia menukar nama sampel urineku. Kau tahu yang terjadi selanjutnya, sekarang
berikan obat itu padaku!”
Imai tersenyum penuh kemenangan. “Sudah kurekam.
Terima kasih. Tapi maaf ini hanyalah obat sakit maag, aku yakin ini nggak akan
berguna buatmu. Pak, tolong ikat Catur.” Imai mengantungi obat itu dan pergi.
“Imaaaaaaaiiiiii…..!!!!” teriak Catur antara sakit
dan kesal.
Singkat kata, Nino pun dibebaskan dari penjara.
Catur masuk rehabilitasi, sedang Pak Hamdani dipecat dan menemani Satmoko,
adiknya dipenjara.
Orang tua Nino sangat berterima kasih pada Imai.
Imai bercerita siang itu setelah menemui orang tua Nino, Imai mendengar
percakapan antara Pak Hamdani dengan Catur yang menyebut-nyebut nama Satmoko. Imai
juga melihat Pak Hamdani menyerahkan sejumlah uang pada Catur. Semua itu
berhasil direkamnya dalam video ponselnya. Hal itulah yang membuat Imai harus
memaksa Catur untuk bicara. Imai bahkan tak tahu bahwa Catur adalah pengguna
narkoba. Imai menegaskan bahwa dirinya siap maju sebagai saksi jika memang
dibutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar