Senin, 18 Juni 2012

IMAI, SANG DETEKTIF ...


Imai, Sang Detektif …
Oleh : Ariany Primastutiek

Setengah berlari Imai menuju kelasnya. Tampak hembusan nafasnya begitu terpacu. Ngos-ngosan. Nafasnya nyaris tersengal. Waktu telah menunjukkan pukul 06.57 wib. Hampir saja ia terlambat. Tiga menit lagi jam pertama mata pelajaran Biologi segera dimulai. Sesampai di kelas, Imai tampak disambut oleh keriuhan yang tak seperti biasanya saja. Beberapa siswa tampak terkulai lemas, sebagian yang lain nampak galau campur cemas, beberapa yang lain pula tampak duduk-duduk malas, dan sebagaian yang lain bahkan tampak mondar-mandir nggak jelas. Imai langsung duduk di sebelah Lila yang tengah asyik mematut-matut dirinya di depan cermin bedak miliknya, seolah cuek bebek dalam suasana gaduh seperti itu. Sementara teman-teman yang lain tampak gaduh meributkan sesuatu. 

“Ini ada apaan sih? Kok rame banget, kayak pasar pagi?” tanya Imai sambil mengalungkan tasnya di sandaran kursi. 

“Eh, sejak kapan kamu ada di sini?” Lila terlonjak dari kursinya. Dia kaget setengah mati. Hampir saja cermin bedak yang dipegangnya jatuh.

“Hemm… makanya jangan ngaca mulu. Mau ulangan dadakan ya, Lil?”

“Nggak! Mau ada tes urine.” Jawab Lila masih dengan mimik cuek. Matanya tak juga lepas dari cermin bedaknya.

“Ada yang hamil apa?” Tanya Imai setengah berbisik dengan muka bloon.

“Meneketehe, katanya sih mau buat tes narkoba.”

“Oh, lha terus kamu kok tenang-tenang gitu?” 

“Ngapain mesti panik? Aku bukan pemakai, aku juga bukan pengguna, apalagi sebagai pengedar…,” Jawab Lila santai-santai saja tanpa beban.

Imai tersenyum mendengar jawaban sahabatnya yang princes ini. Dalam hati dia membenarkan perkataan Lila. Tak lama kemudian Bu Lestari, wali kelas Imai, datang. Seharusnya jam pertama diisi oleh Pak Hamdani, guru Biologi. Bu Lestari datang dengan beberapa orang dari kepolisian. Setelah mendapatkan penjelasan, satu per satu Imai dan teman-temannya digiring ke kamar mandi untuk diambil sampel urinenya ditemani seorang polisi. Katanya untuk memastikan tak ada seorangpun yang mencampur air kencingnya dengan air biasa. Sementara itu beberapa polisi lain mengecek semua tas di kelas.

Ba’da dhuhur, hasil tes urine keluar. Semua warga sekolah kaget ketika pihak kepolisian mengumumkan bahwa mereka terpaksa menahan Nino karena tes urinenya positif dan di tasnya ditemukan beberapa bungkus pil ekstasi. Imai melongo tak percaya. Sementara itu Nino bersikeras bahwa hal itu tak mungkin, dan semua barang haram itu bukan miliknya. 

Nino memang preman di sekolah Imai. Tapi Imai yakin Nino tak mungkin jadi pemakai narkoba. Soalnya Nino itu kan pelanggan UKS yang tak bisa minum obat. Mana mau dia minum obat segede kacang kulit itu. Jadi, pasti ada yang sengaja menjebaknya atau menjadikannya kambing hitam. Imai penasaran tingkat kronis.

Esoknya, Imai langsung menemui orang tua Nino. Ayah Nino bilang, beliau kemarin memecat Satmoko, satpam rumahnya yang ternyata seorang pencuri. Hal itu beliau ketahui dari kamera CCTV yang dipasang di setiap sudut rumahnya. Bisa jadi Satmoko ingin balas dendam. Setelah mendapatkan informasi berharga itu, Imai kembali ke sekolahnya. Tak sengaja Imai mendengar percakapan orang-orang yang tak asing di kebun sekolahnya. Imai langsung bersembunyi di balik pohon. Imai terseyum puas. Kini dia tahu siapa pelakunya.

“Imai…!! Catur mau bunuh diri…!” teriak Bu Lestari. Imai langsung menuju gudang sekolah. Dia sengaja meminta pihak guru untuk mengurung Catur jika dia bungkam. Beberapa guru memegangi Catur yang meronta-ronta. Imai menatap Catur dengan garang. Sementara itu darah terus menetes dari pergelangan tangannya. Nampaknya Catur sengaja menyileti tangannya sendiri. Catur bukan mau bunuh diri. Dia sakaw. Dia ingin menghisap darahnya sendiri. Bagai lampu pijar yang menyala, mendadak muncul ide di kepala Imai. Dia mengancam akan membuang pil ekstasi milik Catur jika dia tak mau mengatakan hal yang sebenarnya. Karena merasakan sakit yang amat sangat, terpaksa Catur mengakui semuanya.

 “Itu… memang punyaku. Ini semua akal-akalan Pak Hamdani. Adiknya dipenjara karena dipecat oleh ayahnya Nino. Mereka mau balas dendam…” napas Catur memburu. “Teruuss…” Imai melotot tak sabar.

“Kemarin ada pemeriksaan, Pak Hamdani tahu aku pakai narkoba. Dia mengancam akan melaporkanku kecuali kalau aku mau membantunya. Terpaksa aku menurutinya. Aku dimintanya menaruh pil itu ke dalam tas Nino, sedangkan dia menukar nama sampel urineku. Kau tahu yang terjadi selanjutnya, sekarang berikan obat itu padaku!” 

Imai tersenyum penuh kemenangan. “Sudah kurekam. Terima kasih. Tapi maaf ini hanyalah obat sakit maag, aku yakin ini nggak akan berguna buatmu. Pak, tolong ikat Catur.” Imai mengantungi obat itu dan pergi.

“Imaaaaaaaiiiiii…..!!!!” teriak Catur antara sakit dan kesal.

Singkat kata, Nino pun dibebaskan dari penjara. Catur masuk rehabilitasi, sedang Pak Hamdani dipecat dan menemani Satmoko, adiknya dipenjara. 

Orang tua Nino sangat berterima kasih pada Imai. Imai bercerita siang itu setelah menemui orang tua Nino, Imai mendengar percakapan antara Pak Hamdani dengan Catur yang menyebut-nyebut nama Satmoko. Imai juga melihat Pak Hamdani menyerahkan sejumlah uang pada Catur. Semua itu berhasil direkamnya dalam video ponselnya. Hal itulah yang membuat Imai harus memaksa Catur untuk bicara. Imai bahkan tak tahu bahwa Catur adalah pengguna narkoba. Imai menegaskan bahwa dirinya siap maju sebagai saksi jika memang dibutuhkan.



Diposting untuk mengikuti lomba menulis cerita Detektif Imai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar