Minggu, 24 Juni 2012

FUTURE ASSET

Anak merupakan asset yang paling berharga. Di pundak merekalah negeri ini bertumpu. Setiap nafasnya menyiratkan selaksa harapan. Denyut nadinya pun merupakan simbol kesiapannya menantang kehidupan. Kehadirannya mampu melunakkan jiwa yang keras sekalipun, juga membuahkan cinta kasih yang akan dikenang sepanjang sejarah. Kita, para orang tua, yang telah diberi kepercayaan berupa amanahNya sudah sepantasnya memberikan segala kasih sayang untuk mereka. Kasih sayang itu bukan hanya berwujud ungkapan sayang semata namun juga dengan mempersiapkan masa depannya sebagai generasi penerus bangsa. Salah satu caranya adalah dengan mempersiapkan secara matang biaya pendidikannya sejak dia masih kecil, agar kelak jika telah tiba waktunya untuk menuntut ilmu, kita tak lagi dipusingkan oleh biaya segala rupa. Kita hanya tinggal mendampinginya dalam mencari ilmu.

Seperti aku dan suamiku, ketika melihat sebuah iklan di televisi tentang pentingnya memiliki investasi sejak kini untuk buah hati membuat kami berpikir hal yang sama. Aku tak ingin seperti yang diiklankan, sebuah keluarga kecil harus minta dana pada orang tuanya hingga harus menjual kekayaan keluarga untuk menyekolahkan anak-anaknya. Miris bila membayangkan hal itu terjadi pada keluarga kecilku. Setelah berembug dengan suami, kami putuskan untuk menyisihkan sebagian penghasilan kami untuk masa depan si kecil.

Aku dan suami memang sama-sama bekerja. Sebenarnya ini adalah pilihan yang sulit bagi kami, terutama aku, karena praktis aku harus meninggalkan putri kami yang tahun ini genap berusia tiga tahun. Beruntung aku masih memiliki orang tua yang berkenan dititipi putri kami. namun kami bertekad tak akan merepotkan orang tua kami. Rencanamasa depan sudah kami susun sedemikian rupa. Kebetulan sistem penerimaan gaji kami juga sangat membantu. Gaji kami terima via rekening. Kami sangat bersyukur karena hal itu memudahkan kami dalam menjalankan apa yang sudah kami rencanakan.

Kami memang memiliki rekening bank yang berbeda. Suami di BCA, sedang saya di bank pemerintah. Hal itu sudah menjadi keputusan perusahaan kami masing-masing. Kami tak pernah mempermasalahkan hal itu. Justru perbedaan itu memberi ruang bagi kami untuk memilih berbagai produk perbankan yang ditawarkan guna mewujudkan perencanaan finansial untuk putri kami. Selain itu keduanya juga memiliki layanan perbankan yang hampir sama, memudahkan nasabahnya untuk mencari info sisa saldo, transfer, dan mengecek transfer yang masuk via handphone. Tentunya hal ini dapat menghemat waktu kami dengan tidak perlu antri di teller atau ATM. Begitu juga berbagai bentuk tabungan investasi masa depan, keduanya juga memiliki kredibilitas yang hampir sama. Intinya semua bermuara pada kemudahan transaksi berupa autodebet langsung dari tabungan, jaminan asuransi, dan juga ringannya investasi perbulan jika ingin menabung untuk masa depan.

Dengan semangat menyiapkan finansial untuk kebutuhan anak kami terutama dalam hal pendidikannya, akhirnya kami memutuskan untuk menyisihkan sebagian gaji kami untuk keperluan penting itu. Setelah bertanya kesana kemari, mencari info sana sini, akhirnya kami temukan sebuah solusi perbankan yang menurut kami cocok dan terjangkau dengan kondisi keuangan kami.  Investasi dengan biaya ringan namun hasil yang didapatkan juga maksimal plus mendapat asuransi kesehatan. Melihat masih banyaknya kebutuhan si kecil, tak mungkin kami berinvestasi di kedua bank. Akhirnya kami memutuskan untuk berinvestasi di salah satu bank di mana kami lebih pasti menerima gaji perbulannya.

Satu bulan setelah perjanjian kami buat dengan pihak bank untuk mendebet rekening pada awal bulan, kami merasa kesulitan membagi penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari, tapi semangat untuk memberikan pendidikan yang layak untuk anak-anak tak luntur hanya karena masalah itu. Sedikit menahan diri atau bahkan ikhlas men-delete keinginan sering kami lakukan. Untuk apa lagi jika bukan untuk masa depan anak. Kata seorang ahli keuangan keluarga, jika ingin menabung sisihkan dulu uang untuk ditabung sebelum digunakan untuk keperluan lainnya, jangan menunggu sisa pengeluaran. Aku salah satu yang setuju dengan pendapatnya. Beliau juga menyarankan agar setiap keluarga memiliki cadangan minimal 6x pengeluaran sebulan, agar setidaknya kita punya waktu enam bulan untuk memperbaiki ekonomi keluarga saat dilanda krisis keuangan. Saran yang menurutku bagus untuk diterapkan.

Sebenarnya aku dan suami berharap tiga tahun ke depan, ketika putri kami memasuki usia TK, kami telah memiliki kebebasan finansial. Tak perlu banyak-banyak, toh biaya masuk TK tak sebanyak biaya kuliah, namun kami berencana sisa uang yang kami investasikan bisa membantu memenuhi kebutuhan adiknya jika lahir nanti (ini rencana kami, semoga Allah swt berkenan memberi kami anugerahNya yang kedua dalam waktu dekat ini. Meski belum mendapat karunia itu namun kami tetap bersemangat untuk menyiapkan dana untuknya). Tapi rupanya sesuatu yang tak terduga terjadi. Ekonomi keluarga kami mulai menampakkan tanda-tanda bahaya ketika selama tiga bulan berturut-turut gaji suami belum dibayar karena perusahaan tepatnya bekerja mengalami defisit keuangan. Kami bersyukur karena aku masih bekerja jadi setidaknya masih ada pemasukan, meski hanya cukup untuk membayar tagihan bulanan dan susu si kecil. Satu hal yang tetap menjadi prinsip suamiku adalah keengganannya berhutang. Akhirnya kami terpaksa mengambil kembali dana investasi yang baru berjalan satu tahun dari tiga tahun yang kami rencanakan. Sudahkan tercapai target 6x dari total pengeluaran sebulan? Tentu saja belum, paling lama hanya  tiga bulan. Alhamdulillah, belum sampai tiga bulan, ekonomi keluarga mulai membaik dan kami pun kembali menginvestasikan penghasilan kami. Kali ini kami sangat berharap kami bisa sukses mencapai target yang kami inginkan.

Sebenarnya rumah sakit swasta tempatku bekerja telah menjamin karyawannya dengan program jamsostek dan tabungan pensiunan yang tercover dalam DPLK. Di sana memang dijelaskan ketika kita memasuki masa pensiun kita bisa mengambil dana tersebut. Namun tetap saja aku tak bisa tergantung terus pada rumah sakit. Bisa saja karena satu atau dua hal aku harus hengkang dari rumah sakit tempatku mengaplikasikan ilmu keperawatan sejak lima tahun yang lalu ini. Hal ini jugalah yang menjadi pertimbangan aku dan suami untuk tetap menabung sedikit demi sedikit demi masa depan si kecil. Impian bisa menyekolahkan anak-anak hingga setinggi yang mereka inginkan kelak masih menjadi cita-cita kami.

Selain itu, melihat semakin mahalnya harga pendidikan di Indonesia juga membuat kami semakin yakin bahwa berinvestasi sejak dini bukanlah merupakan sikap yang berlebihan. Banyak keluarga teman yang kelabakan ketika anaknya akan masuk sekolah. Kami berharap kami tidak mengalaminya. Bagaimanapun berinvestasi untuk masa depan tidaklah merugikan, justru menurutku kita rugi jika kita tak memanfaatkan fasilitas perbankan yang banyak disediakan untuk kita berinvestasi guna menyiapkan masa depan anak-anak kita.

Jika terputus di tengah jalan? Tak masalah. Aku yakin semua bank akan memberi kita kelonggaran untuk mengambil hasil investasi kita meski untuk itu kita harus merugi beberapa ratus ribu sebagai biaya administrasi bank.

Kita semua pasti punya mimpi tentang masa depan yang kita inginkan. Ada banyak jalan bagi kita untuk mewujudkannya asalkan kita mau sedikit berkorban. Apalagi kini sudah tersedia www.bca.co.id yang bisa menjadi salah satu bahan rujukan untuk menemukan berbagai macam informasi perbankan termasuk jenis investasi pendidikan yang sesuai dengan pendapatan dan kebutuhan kita. Semoga aku dan suami bisa terus konsisten dengan investasi kami sehingga masa depan terutama dalam hal pendidikan anak tetap terjamin.


Diposting untuk mengikuti lomba BCA Blog Competition. Info lebih lanjut ada di sini.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar